Senin, 14 September 2009

Tanah Harapan

Tanah Harapan
Oleh : Juan Fransiska | 14-Sep-2009, 15:06:07 WIB

Sebenarnya aku ingin menceritakan semua ini didepanmu, di taman kota seperti dulu, ditemani secangkir kopi sumatera, tanah kelahiranku, ditengah dinginnya udara malam turun dari arah Bukit Barisan. Dingin udaranya, menusuk tulang kala malam, membuat sebagian penduduk dan pengunjung kota membencinya sekaligus merindukan bau lembabnya.

Aku ingat betul, waktu pulang kampung pertama kali, semasa SMA dulu, ketika malam datang, butuh dua selimut tebal untuk dapat tertidur. Aku sendiri terpaksa tidur diruang tengah, melintang dengan yang lainnya, karena tak ada kamar untuk laki-laki dalam budaya kami. Laki-laki dilebihkan ruangnya pada kehormatan memiliki tanggungjawab budaya terhadap seluruh anggota keluarga dalam garis keturunan ibunya, para kemenakan.

Pada saat pagi datang, aku selalu saja diserang penyakit malas bangun dan mandi, bahkan gosok gigi sekalipun. Kakak-kakakku yang lain selalu membangunkanku diruang tengah sehabis nonton TV semalaman, mereka selalu berteriak atau mencubitku jika malas sholat shubuh. Jika sudah seperti itu kejadiannya akupun seperti biasanya, setelah adzan shubuh segera bergegas mengambil handuk, mandi supaya tidak lagi berasa dingin udara pagi dan terhindar dari teriakan selanjutnya.

Pulang kampung kali ini, terasa sedikit berbeda, aku dan mungkin yang lainnya merasakan hal yang sama, secara perlahan sentuhan dinginnya berkurang dimakan tiupan pertumbuhan kota dan penduduk yang datang entah darimana.

Sekilas kulihat pasar tradisional semakin semerawut, sementara pusat perbelanjaan modern berdiri tegak ditengahnya, para pedagang kecil tak kebagian ruang, berdesakan di trotoar jalan mengambil tempat pejalan kaki semestinya berjalan, angkutan kota berhenti seenaknya, belum lagi, tai dan bau pesing kencing kuda delman, Terakhir tumpukan sampah. Kunjungan wisatawan disaat suasana liburan panjang, seperti sekarang ini, menyebabkan sampah berserakan dimana-mana, tidak taratik, seolah tak hirau dengan tugu Adipura yang tegak berdiri di sudut pasar.

Sabtu pagi ini kulihat Gunung Barani dan Gunung Siluet Bukit tidak lagi diselimuti kabut. Mungkin yang terjadi disana tidak berbeda jauh dengan tempatku bekerja, hutan dan lereng bukitnya telah berubah jadi peladangan penduduk, tak ada lagi pokok kayu besar tinggi tempat kabut berkumpul,menggelantung dan berkabar kepelosok negeri bahwa pagi ini dingin dipenuhi udara segar.

Ada benang merah antara apa yang kulihat dan terjadi dikampung dengan apa yang kulihat dan kualami dirantau tempatku bekerja dan belajar hidup, dari tiada menjadi ada atau justru sebaliknya, berproses menjadi sesuatu. Walaupun kau tak ada, inilah yang hendak ku ceritakan padamu, ada yang berubah seiring waktu. Biarkanlah angin menyampaikan cerita ini padamu.

Kalaupun bahasanya sedikit ku perhalus, yang terjadi semacam pemaknaan dan pembelajaran terhadap tempat dan waktu yang berbeda, ketika aku berada disini, terhubung oleh folklore 3 negeri yang disimbolkan dengan sebuah binatang melata raksasa berbisa, bernama ular. Kemudian dalam sebuah pertarungan berbulan-bulan, dua orang sakti, berhasil membunuhnya. Tumbuhnya kemudian terpecah menjadi 3 bagian, terpelanting ke 3 penjuru negeri. Bagian kepala ke barat, bagian perut ketengah dan bagian ekor ke selatan. Dan sekarang aku tepat berada dibagian perut ular sebagaimana dikisahkan folklore dari buku yang sempatku baca di perpustakaan kabupaten yang kuberi nama simpang bukit.

Seperti biasa, setiap perjalanan memiliki kisahnya sendiri, begitu juga dengan sebuah negeri, selalu memiliki kekhasannya. Dan yang paling kutandai betul disini, masakan penduduk terasa begitu asin di lidah. Pada satu kesempatan, aku pernah berasumsi, tingginya tingkat konsumsi garam dalam tubuh, menyebabkan tingginya tingkat emosional pengkonsumsinya. Asumsi ini sendiri ku ambil dan kuhubungkan dari variable harian yang kutemui dilapangan ketika berkunjung, bersilaturahmi dan berunding dengan penduduk setempat, sangat terasa tingkat emosional begitu tinggi- penaik darah, keras hati, pemarah, slip-slip sedikit omongan bisa fatal akibatnya.

Dari situ aku punya pikiran guyon mungkin juga ngaco, untuk melakukan perubahan karakter penduduk tempatku ini, sepertinya sulit dilakukan, kecuali dengan mengurangi tingkat konsumsi garam pada masakan penduduk. Kalaupun benar, itu baru akan terbukti pada satu generasi berikutnya. Malah ada yang menyampaikan kepadaku, karena letaknya di wilayah perut, maka kenyangkan dulu perutnya.

Terlepas dari adanya stigma dalam folklore tersebut, tampaknya ini ada benarnya juga, ungkapan kenyangkan perutnya terlebih dahulu, bukan dalam ungkapan makan dulu baru berunding, tak dapat dielakan dalam setiap runding-runding pekerjaanku yang aku sendiri lebih senang menyebutnya sebagai sosial support plantation, sementara temanku yang lain secara saklek menyebutnya sebagai marketing tanah/lahan, cukup berkonotasi kuantatif dan kapitalis.

Balik lagi kesoal kenyangkan perutnya tadi, semuanya mengkerucut pada kalimat uang dan lokaan (peluang kerja) mengambil bentuk utamanya sebagai media sekaligus strategi penyelesaian konflik ataupun runding antar pihak. Sebuah sari pati nilai budaya yang sebenarnya masih aku pertanyakan sampai saat ini.

Sedari dulu, aku begitu tertarik dengan isu konservasi hutan yang disampaikan kawan-kawan sebuah LSM atau sebagaimana tergambar dalam film dokumenter Save the Earth. Apalagi jika beririsan dengan komunitas adat lokal yang disebut sebagai orang dusun dan sebagian lainnya sebagai komunitas adat terpencil. Dimana ujung dari pada itu semua mengarah pada satu pikiran, hutan adalah untuk semua mahluk bumi, untuk masa depan yang lebih baik.

Aku sendiri tidak pernah membayangkan sebelumnya, akan bekerja dalam posisiku sekarang, bertolak belakang dengan bayangan awalku akan idealism sebuah pekerjaan. Sekarang aku bergabung dalam sebuah pekerjaan yang dinilai banyak kalangan, terutama aktivis lingkungan, telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekosistem hutan.

Aku juga kurang tahu persis, apakah lahan-lahan yang tersisa itu masih bisa disebut sebagai hutan, karena sepanjang yang aku lihat, tidak ada lagi tingkat kerapatan kayu dengan tutupan pohon pohon besar. Kayu-kayu besar kualitas ekspor telah habis ditebang pada masa keemasan illegal logging.

Dan yang tersisa hanyalah kayu-kayu kecil, ditumbuhi belukar, dan sebagiannya lagi, lahan yang telah ditebang bakar untuk ladang karet penduduk, dihubungkan fasilitas jalan beton setapak yang dibangun pemerintah setempat, membelah “hutan” menuju ladang karet penduduk. Tentunya pemerintah mempunyai alasannya sendiri. Semua akan membantu tingkat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.

Kalaupun sekarang tetap ada penebangan hutan/illegal logging oleh masyarakat desa, itupun dengan jumlah terbatas dan dilakukan penuh hati-hati, ditengah petugas kehutanan yang masuk kelokasi dan diumbuk dengan uang rokok alakadarnya. Seperti yang digambarkan pemain kayu yang kutemui dilokasi “ sekarang ini kalau terlalu berani pasti mati masuk bui, tapi kalau terlalu takut, pasti mati karena tidak makan “. Karena harus juga diakui, pelarangan illegal logging menimbulkan problematic kemiskinan ditingkat penduduk setempat.

Pada deretan selanjutnya hutan yang tersisa dan belum terjamah adalah hutan payau yang tak dapat dimanfaatkan penduduk untuk ditanami karet serta ketidaan sumber daya untuk memanfaatkannya. Dan yang tak kalah penting, besarnya potensi konflik kepemilikan lahan karena urusan batas wilayah administrasi desa serta batas kepemilikan individu.

Pada tingkat kepemilikan komunal dan kepemilikan individu, konflik masih saja terjadi. Pada tingkat komunal, walaupun sebenarnya batas wilayah telah diatur sebagai mana disebutkan di dalam tambo tradisi dan diputuskan secara lebih kuat didalam keputusan pemerintah setempat. Namun realitas dilapangan, apa yang disebutkan didalam ketentuan baku tersebut tidak dapat dijadikan patokan bersama, karena yang ada baru pada tingkatkan batas imajiner dikepala. Yang pada suatu saat bisa kembali tersamar ketika tetua kampung yang mengetahui letak batas dilapangan meninggal dunia dan tidak sempat mentransfer pengetahuan imajiner dan lapangan kepada penerusnya di desa.

Dan yang lebih naasnya lagi, ketika orang dari dua wilayah desa berbeda, mempunyai batas imajiner yang sama, tapi berbeda pengertian dalam menafsirkan batas imajiner sebagaimana disebutkan didalam tambo tradisi. Sebagai misal disebutkan salah satu batas wilayah antar dua desa adalah tampi-tampi. Satu pihak mengkonsepsikannya dilapangan sebagai sebuah anak sungai dan pihak desa lain justru mengkontruksinya sebagai sebuah kayu yang tumbuh diatas tanah sematang/tinggi/daratan.

Jelas saja ini menjadi suatu masalah, karena tidak terdapat kesamaan konsepsi tentang batas imajiner. Dan yang terjadi bisa saja masyarakat dari dua desa menempuh jalan kekerasan, mengeluarkan parang dan kecepek bertumpahan darah memperebutkan tanah harapan dengan dasar kebenaran pengetahuan masing-masing. Ketegangan serupa ini sempat terjadi, tapi tidak sampai pada pertumpahan darah. Belakangan terdengar juga kasak kusuk ditengah masyarakat desa, yang mempersoalkan keberadaan komunitas transmigrasi jawa dalam wilayah desanya, telah terlalu jauh membuka lahan, sebagaimana diatur dalam peruntukan tata ruang transmigrasi.

Permasalahan batas wilayah desa, secara dominan muncul kepermukaan, manakala investor datang untuk berinvestasi dalam penggelola dan pemanfaatan hutan/lahan. Semestinya porsi ini menjadi pekerjaan pemerintah daerah dengan melibatkan partisipasi investor dan terutama kelompok/individu kepentingan lainnya di desa. Karena dengan adanya investor tadi, konflik batas wilayah desa yang bersifat laten menjadi lebih muncul kepermukaan dengan motif beragam, terpaksa mesti diselesaikan atau malahan justru terbantu untuk diselesaikan. Hakikatnya secara politis pihak investor akan tunduk pada ketentuan administartif sebagaimana ditetapkan pemerintah setempa.

Sedang pada tingkat individu, konflik kepemilikan tanah, tampaknya lebih disebabkan oleh keserakahan terhadap tanah dan semakin menipisnya ketersediaan lahan kosong untuk dikelola dan penyebab lainnya bisa beragam, termasuk riwayat kepemilikan tanah yang dapat dirunut menjadi tanah hasil buka tebang bakar, tanah waris dan tanah berdasar jual beli. Sedangkan pada kasus lain, lahan tanah yang telah lama ditinggalkan tidak digarap, kemudian secara perlahan sedikit demi sedikit dibuka dan dikuasai pihak sebelah.

Sedangkan untuk lahan payau yang menjadi pemisah atau terletak diantara dua tanah daratan dengan kepemilikan individu yang berbeda, sebenarnya adat telah mengatur pembagiannya. Tanah payau dibagi dua bagian sebelah menyebelah sama rata. Namun terkadang ketentuan inipun dilanggar, sehingga yang terjadi adalah sengketa tanah tak berkesudahan.

Sejauh yang ku ketahui, kasus perdata tanah begitu banyak disidangkan di pengadilan negeri kabupaten Simpang Bukit. Satu waktu lalu, aku sendiri beserta istri sempat beberapa kali mengikuti persidangan gugatan perdata tanah yang cukup melelahkan. Saat itu aku menyaksikan, walaupun dipisahkan wilayah administratife desa, kasus tanah dapat merusak hubungan kekerabatan diantara satu garis keluarga besar, diantara dua pihak keluarga yang bersengketa. Sebagaimana diketahui hal inipun terjadi dikampungku.

Pada waktu pertama kali menyaksikan “hutan” dirubuhkan bulldozer dan excavator untuk ditanami kelapa sawit, jauh didasar hatiku, berkata ini suatu kekeliruan, karena hutan yang tidak seberapa lagi tersisa itu akan digantikan pokok-pokok tanaman kelapa sawit, dan secara pasti kicau burung akan hilang dengan sendirinya. Sedang pada sisi lain, penduduk desa, para petani karet justru berpendapat pembukaan hutan yang tersisa membantu mengurangi hama binatang, musuh utama tanaman. Dimana monyet simpay dan babi menjadikan hutan sebagai sarang sekaligus karet sebagai tempat bergelayut dan sumber makanannya.

Tapi anehnya secara perlahan seiring waktu, rasa bersalah itu mulai hilang, ketika aku berusaha berkompromi dengan diri sendiri, bahwa hutan yang terbuka tadi akan benar-benar menjadi tanah harapan, berubah menjadi pokok – pokok duit, dan mengangkat masyarakat dari kemiskinan, sebuah momok zaman, sebagaimana dicerita seorang penduduk. Dan itu tergambar jelas dari riwayat kepemilikan tanahnya, diperdapat dari orang tuanya, yang menukarkan tanah penduduk desa tetangga dengan garam dan beras pada masa lalu, dan itu dibuktikan dengan selembar surat bermaterai dalam ejaan lama dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Riwayat kepemilikan tanah seperti ini, bukan saja dimiliki oleh dirinya sendiri, tapi juga oleh penduduk lainnya.

Untuk pikiran itu aku mesti bekerja sebaik mungkin, agar pokok duit tadi tidak berubah menjadi pokok masalah dikemudian hari, karena proses kerjasama kemitraan pembangunan kebun tidak berjalan sesuai pola yang disepakati, ada satu pihak merasa dibohongi dan dirugikan. Aku pikir ini bukan menjadi tanggung jawab pribadiku saja, melainkan menjadi tanggung jawab kolektif untuk mewujudkannya.

Bagian menarik lainnya untuk kuceritakan yaitu manakala, aku terkejut melihat sungai tempatku sehari-hari menyeberang ke areal perkebunan dialiri air coklat butek, potongan kayu berserakan dipingir dan ditengah badan sungai, sepertinya sungai bara, sebut saja begitu namanya, mengalami pendangkalan dan kerusakan ekosistem. Aku sendiri memastikan tak ada ikan yang berani hidup disitu. Selidik punya selidik, dari keterangan penduduk diketahui,kejadian ini diakibatkan kegiatan dompeng tambang emas dihulu sungai dan sebagiannya lagi dilakukan dengan menaikan kandungan dasar tanah keatas permukaan dengan mesin besar, menimbulkan lubang, kolam menggangga disana sini.

Beberapa waktu lalu masyarakat setempat pernah menawarkan agar areal bekas dompeng bisa dirubah dan dimanfaatkan menjadi areal perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan. Tapi setelah dinilai kelayakannya secara teknis dan biaya, sangat berat untuk direkomendasikan. Kegiatan dompeng, sebenarnya sangat dilarang pemerintah setempat, tapi masyarakat setempat maupun masyarakat pendatang yang sengaja datang untuk mencari emas tetap saja tak terhentikan.

Dari kisah sejarah para penambang emas, kuketahui sepenggal sejarah budaya asalku ditempat ini. Ternyata menurut cerita sejarah yang kudapat berasal dari pasukan Datuk Katemangungan Minangkabau, yang bermigrasi karena alasan lari dari peperangan, sebagiannya masuk kedalam hutan, dan kemudian menyebut dirinya sebagai Orang Rimba. Rombongan lain datang untuk alasan mencari emas, menjadi penambang emas ditanah harapan dan kemudian dikenal penduduk setempat sebagai komunitas Penghulu yang hidup berdampingan dengan komunitas setempat dengan cara yang berbeda dengan negeri asalnya. Dimana semuanya bergantung pada tanah harapan yang mulai menipis, diperebutkan banyak pihak atas nama beragam kepentingan serta pengharapan. Sumber:www.kabaridonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar