Presiden Perlu Bersikap
Jumat, 13 November 2009 | 03:35 WIB
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didesak segera bersikap, menyelesaikan konflik antarlembaga penegak hukum. Ini sebagai pertanggungjawaban seorang kepala negara. Tiada kepastian dan lambannya penyelesaian konflik itu justru bisa saja memicu anarkisme massa yang bisa menimbulkan kerusakan.
Permintaan itu dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, Kamis (12/11) di Jakarta. ”Tindakan Presiden diperlukan untuk menyelamatkan negara dan institusi negara. Apa pun nama institusinya, kesetiaan pada negara mutlak dan utuh. Sedang kesetiaan pada aparat negara itu dalam rangka amar makruf nahi mungkar (mengajak kebaikan, mencegah keburukan),” katanya.
Konflik antarlembaga penegak hukum saat ini, seperti yang tergambar dalam kasus yang menimpa Wakil Ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, lanjut Hasyim, terjadi akibat permainan individu dengan menggerakkan institusi negara. Akibatnya, institusi negara terbawa dalam konflik. ”Negara tanpa polisi dan jaksa bisa menimbulkan anarki. Sebaliknya, untuk pemberantasan korupsi dibutuhkan KPK,” katanya.
Presiden sebagai kepala negara wajib menyelesaikan konflik itu secara tegas dan arif. Presiden, kata Hasyim, harus membersihkan institusi penegak hukum dari orang yang bersalah dan telah menghancurkan institusi. Tindakan itu tidak dapat disebut intervensi dalam penegakan hukum karena kewajiban Presiden menjaga keutuhan dan keselamatan negara.
Upaya Presiden itu juga harus dilakukan cepat sebelum anarkisme massa terjadi. Kian tingginya ketidakpercayaan rakyat pada institusi penegak hukum bisa menimbulkan chaos.
Pengamat politik dari Universitas Warmadewa, Bali, I Nyoman Wiratmaja, secara terpisah, juga meminta Presiden menerima rekomendasi sementara dari Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit dan Chandra (Tim Delapan). Rekomendasi itu, yang menunjukkan tak ada dasar yang kuat untuk menjadikan Bibit dan Chandra sebagai tersangka, sesuai dengan harapan rakyat.
Presiden diharapkan tak perlu berpikir panjang memutuskan hal itu. ”Karena sudah dibuka ke publik, kami berharap Presiden tidak lagi ragu menerima rekomendasi Tim Delapan,” ungkap I Nyoman Wiratmaja lagi.
Di Jakarta, Setara Institute juga mendesak Presiden tampil ke depan dan mengambil langkah konkret dalam memimpin pemberantasan korupsi. Berdalih tak ingin melakukan intervensi terhadap proses hukum adalah keliru. Sejak awal, publik sudah melihat proses hukum yang berjalan adalah menyesatkan.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengingatkan, perlu disadari, baik atau tidaknya kinerja institusi penegak hukum menjadi tanggung jawab Presiden. Membiarkan bola panas bergulir akan kian membuat ketidakpercayaan masyarakat meninggi dan tak produktif lagi.
Jalani wajib lapor
Achmad Rivai dari tim kuasa hukum Bibit dan Chandra yakin Polri akan mendengar rekomendasi Tim Delapan untuk menghentikan perkara kliennya sebab tim dibentuk Presiden untuk mencari fakta dan solusi yang berkeadilan.
”Tak mungkin Presiden mengabaikan begitu saja rekomendasi Tim Delapan. Jadi, kita tunggu bagaimana sikap Presiden,” kata Rivai, Kamis, seusai menemani kliennya menjalani wajib lapor ke Mabes Polri.
Rivai mempertanyakan sikap Polri yang melarang penambahan keterangan dalam berita acara pemeriksaan pula. Padahal, keterangan itu terkait dugaan rekayasa. (mzw/ays/aik/tra)Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar