BISNIS SOSIAL
Budaya Lokal, Motor Penggerak
Jumat, 6 November 2009 | 03:14 WIB
Suara truk menggerung-gerung jauh di bawah, di ”lembah” sepanjang Kali Gendol, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, ditingkahi ketukan palu ke dinding-dinding tebing sungai. Jumat (9/10) pagi itu irama tersebut berulang dan berulang, terus dan terus.
Bibir ”jurang” itu hanya sekitar 6 meter dari jalan raya. Kegiatan lebih dari 100 penggali pasir itu berlangsung di kedalaman hingga sekitar 50 meter. Semakin ke hulu lokasi penggalian pasir dan batu, yang hasilnya ratusan truk per hari, itu ”jurang”-nya semakin dangkal, sekitar 25 meter.
Munculnya kisah perjuangan rakyat menggusur dua back-hoe pada Selasa, 2 Agustus 2008, dari penggalian pasir di Kali Batang di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bukan tanpa sebab. Rakyat marah karena akibat penggalian pasir itu mata air di sekitar lereng Gunung Merapi rusak, terutama dalam 10 tahun terakhir. Penggalian pasir berlangsung nonstop 24 jam.
Ketika petani kehilangan mata pencarian akibat langkanya air, pengusaha penggalian pasir justru mengeruk keuntungan miliaran rupiah, Rp 100 juta-Rp 140 juta per hari. Masyarakat pun melakukan perlawanan menggunakan simbol kebudayaan yang lekat dengan kehidupan mereka.
Bisnis sosial
Kisah sukses lereng Merapi tampil dalam wujud berbeda di Desa Genting, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kisah sejenis juga muncul di negara Banglades. Begitupun kisah dari Teluk Lombok, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, oleh Kelompok Pangkang Lestari.
Di tiga lokasi ini berlangsung pendekatan ”bisnis sosial”. Sebuah pendekatan yang mampu menjawab argumen bahwa tindakan pengurangan emisi untuk menghambat laju pemanasan global akan mengakibatkan pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Di Desa Genting, dengan bantuan Yayasan Obor Tani, para petani yang lahannya terbengkalai akhirnya berhasil menjawab tantangan perubahan iklim melalui program adaptasi dan mitigasi. Lahan kritis seluas 20,8 hektar bisa mendapat pengairan dari sebuah embung buatan berkapasitas 8.500 meter kubik. Hasilnya adalah kelengkeng kualitas premium. Pendapatan 126 keluarga di kawasan itu secara nyata meningkat.
Tahun 1994, di Banglades, sebuah produk perbankan Grameen Shakti mulai menjalankan program solar home system (SHS) bagi penduduk di desa yang tak terjangkau sistem jaringan listrik negara. Modal awal memang tinggi sehingga ada keengganan. Ini diatasi dengan kredit mikro. Ketika tingkat kesadaran warga terbentuk, maka bisnis penjualan SHS ini berkembang pesat, dan sekarang telah menjangkau 10.000 warga di Banglades.
Hal serupa dilakukan dengan program penyediaan biogas, menggunakan limbah peternakan dan pertanian. Kedua teknologi itu juga mampu memunculkan rangkaian kesempatan kerja. Produk yang berlebih dapat dijual kepada sesama warga, dan keterampilan serta kemampuan mereka memproduksi SHS atau biogas bisa dijual.
Di Indonesia, sistem serupa dilakukan di Teluk Lombok ,yang hutan bakaunya dibabat habis untuk dijadikan tambak udang oleh sebuah perusahaan besar. Akibatnya fatal. Erosi menggila sehingga warga harus memindahkan rumah mereka.
Melalui organisasi nelayan Pangkang Lestari, bakau mulai ditanam. Ketika berhasil tumbuh, warga mendapat penghasilan dari ikan dan kepiting yang dipanen dari kawasan hutan bakau. Sumber penghasilan bertambah dengan membuat kerupuk kepiting serta dari pembenihan bakau.
Kebiasaan sosial
Konteks perubahan iklim di kota berbeda dengan di pedesaan, yang amat mudah dihubungkan dengan proses pemiskinan dan bencana. Akibat tingkat konsumsi yang tinggi, kota bisa diidentikkan dengan sampah, penghasil gas metan (CH), salah satu gas rumah kaca penyebab kenaikan suhu global. Sebagai entitas kota, Jakarta, misalnya, memiliki tiga masalah besar lingkungan hidup, yaitu polusi udara, polusi air, dan polusi tanah (oleh sampah).
Isu sampah akhirnya dipilih Keuskupan Agung Jakarta sebagai tantangan sosial yang akan dicoba dijawab. Maka, pintu masuk untuk berkiprah adalah membentuk habitus peduli sampah, yakni dengan ”menaruh dan memilah sampah” yang kemudian melahirkan slogan ”Taruh Sampah, Jadikan Berkah”. Realitas tentang sampah antara lain bahwa 15,3 persen sampah di Jakarta atau sekitar 6.000 ton sehari dibuang sembarangan ke jalan-jalan, ke kali-kali, ke taman-taman kota.
Mengapa habitus (kebiasaan sosial)? Menciptakan habitus merupakan sentuhan personal yang berbalutkan tanggung jawab moral. Dengan perubahan habitus, akan terbentuk masyarakat yang disiplin menaruh dan memilah sampah, berani menegur orang lain yang tak melakukannya, serta jika ditegur karena tak melakukannya, maka dia akan malu.
Dari seluruh kiprah komunitas-komunitas tersebut, tampak benang merah berupa upaya mengatasi problema lingkungan. Ketika mereka sukses menjawabnya, mereka telah melakukan adaptasi dan bahkan mitigasi, terutama dengan berbagai produk energi terbarukan. Gerakan-gerakan tersebut telah berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca serta sekaligus mampu meningkatkan penyerapan karbon.
Hasil selanjutnya adalah peningkatan penghasilan yang sekaligus menjawab kemiskinan yang semakin membelit mereka ketika lingkungan rusak. Yang dibutuhkan sekarang adalah replikasi dari semua proses penyelamatan lingkungan ini.
Curah pengalaman dalam seminar yang diuraikan di atas telah memunculkan gagasan untuk membentuk suatu koalisi dengan beragam aktivitas. Tantangan yang dihadapi oleh aktivitas-aktivitas kelompok tersebut adalah telah tergerusnya budaya lokal atau kecerdasan lokal (local wisdom) serta sulitnya replikasi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang mampu menjangkau wilayah lebih luas.
Namun, replikasi ini ternyata sulit dilakukan karena adanya bias sektoral serta kakunya birokrasi. Selanjutnya adalah sektor pendanaan yang merupakan peluang untuk melibatkan dunia usaha. Pada tataran inilah dibutuhkan adanya rasa saling percaya (trust).
Dari segala rangkaian ini, lalu dari mana kita mulai? Yang pasti semua itu tak mustahil dilakukan. (BRIGITTA ISWORO LAKSMI)Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar