Senin, 16 November 2009

KONSEKUEN ITU HARUS

Presiden Harus Konsekuen
Sejumlah Pejabat Tinggi Bertemu di Cikeas

Selasa, 17 November 2009 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Walaupun sulit, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus konsekuen mengimplementasikan rekomendasi Tim Delapan atas kasus Wakil Ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, Senin (16/11), mengatakan, pemerintah, dalam hal ini Presiden Yudhoyono, tak bisa lagi mengelak untuk menuntaskan kisruh KPK vs kepolisian yang semakin lama semakin melorotkan nama baik pemerintah.

Pelaksanaan hasil rekomendasi secara serius sudah sepantasnya dilakukan mengingat Tim Delapan atau Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit dan Chandra dibentuk oleh Presiden.

”Tidak ada jalan lain, rekomendasi Tim Delapan harus segera diimplementasikan. Apalagi anggota tim, kan, juga berasal dari anak buah Presiden sendiri, seperti Adnan Buyung Nasution (Dewan Pertimbangan Presiden) dan juga Denny Indrayana (staf khusus),” ujar Ikrar.

Jika Presiden Yudhoyono mampu dan berani menjalankan isi rekomendasi secara menyeluruh dan konsekuen, lanjut Ikrar, nama baik pemerintah, terutama institusi penegak hukum, akan terselamatkan.

Ia mengingatkan, kasus perseteruan antara Polri dan KPK tidak berdiri sendiri, melainkan terkait banyak hal, di antaranya kasus Bank Century. Jika dibiarkan berlarut-larut, kekecewaan masyarakat akan bertumpuk.

Pertemuan di Cikeas

Sejumlah sumber di Istana mengatakan, Senin malam Presiden bertemu dengan sejumlah pejabat tinggi di Cikeas, Bogor.

Mereka yang hadir antara lain Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kepala Badan Intelijen Negara Sutanto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, dan Menko Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto.

”Apa yang diperbincangkan dalam pertemuan itu saya tidak tahu,” ujar salah satu sumber.

Secara terpisah, anggota Tim Delapan, Anies Baswedan, mengatakan, tim akan diterima Presiden Yudhoyono di Wisma Negara hari Selasa ini pukul 14.00.

Cepat dan tegas

Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, memahami dilema yang dihadapi Presiden. Di satu sisi, respons cepat dan tegas Presiden sangat dinantikan semua pihak. Namun, di sisi lain, sebagai kepala negara ia tak bisa begitu saja mengintervensi proses hukum yang tengah berjalan.

”Jika Presiden mengabaikan rekomendasi Tim Verifikasi, artinya menafikan kerja tim yang dibentuknya sendiri. Padahal, tim ini dibentuk karena keraguan publik terhadap proses hukum di kepolisian dan kejaksaan,” katanya.

Menurut Indriyanto dan juga pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, Presiden sebenarnya memiliki sejumlah opsi, di antaranya hak abolisi dan amnesti untuk menghentikan perkara. ”Tetapi, saya tidak menyarankan itu karena itu berarti kita mundur lagi ke Orde Baru di mana hukum bisa diintervensi,” kata Indriyanto

Ia menambahkan, solusi terbaik sebenarnya polisi menghentikan proses ini karena tak cukup bukti. ”Namun, jika polisi tetap ngotot, Jaksa Agung bisa menghentikannya melalui mekanisme deponeering atau penghentian perkara,” katanya.

Bagi Irman, abolisi dan deponeering justru tidak sesuai dengan hasil rekomendasi Tim Delapan yang menyatakan kasus Chandra dan Bibit kurang bukti.

”Tipis kemungkinan dikeluarkan abolisi karena ini membutuhkan persetujuan DPR. Padahal, sikap DPR (Komisi III) sudah sangat jelas ingin melanjutkan persoalan ini sesuai prosedur hukum,” kata Irman.

Abolisi adalah hak prerogatif untuk memerintahkan penghentian penyidikan yang dilakukan pemerintah dengan disetujui DPR. Secara politik, abolisi dapat dipandang sebagai sebuah pengampunan. Sementara itu, deponeering merupakan pengesampingan suatu perkara dengan alasan kepentingan umum (kepentingan bangsa dan negara, atau kepentingan masyarakat luas). Dalam deponeering, tak dilanjutkannya suatu perkara bukan karena tidak cukup bukti, tetapi karena ada kepentingan umum.

Ke pengadilan

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengingatkan, pemerintah jangan membiasakan diri membuat keputusan bagi persoalan-persoalan hukum di luar pengadilan. Forum yang paling tepat untuk menghukum seseorang atau tidak menghukum adalah pengadilan.

”Kita jangan membiasakan diri memutus persoalan hukum dengan menggunakan forum administratif, forum parlemen, forum politik, ataupun forum jalanan. Forum yang paling beradab untuk menghukum hanyalah pengadilan. Yang memutus sebaiknya hakim supaya tidak menjadi preseden buruk pada masa mendatang,” ujar Jimly, Senin.

Bagi Jimly, semua hal, sepanjang menyangkut proses pembuktian, sebaiknya dibawa ke pengadilan.

Lebih lanjut Jimly meminta semua pihak memandang rekomendasi Tim Delapan secara jernih. Jimly yakin rekomendasi tim itu akan dipatuhi. Hanya saja, seberapa banyak yang dipatuhi masih menjadi tanda tanya.

Harus dibuka

Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, menilai, gejolak yang terjadi belakangan ini akibat kegagalan pemerintahan sebelumnya dalam menata birokrasi, khususnya di institusi Polri, kejaksaan, dan KPK.

Saat ini tidak ada pilihan lain bagi Presiden kecuali meningkatkan kinerjanya dalam penataan birokrasi sehingga kekacauan yang sedang terjadi bisa teratasi.

Sementara Nudirman Munir, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, menilai rekomendasi Tim Delapan yang diserahkan kepada Presiden harus dibuka ke masyarakat.

Di Mabes Polri, Jakarta, kuasa hukum Bibit-Chandra, Ahmad Rivai, mengakui, timnya belum mengetahui isi rekomendasi Tim Delapan sehingga belum bisa memberikan komentar tentang rekomendasi Tim Delapan.

Sementara itu, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Inspektur Jenderal Dikdik Mulyana mengatakan, Mabes Polri belum menerima berkas kasus Bibit dari kejaksaan. ”Saya justru ingin bertemu jaksanya menanyakan hal ini,” ujarnya.

(DWA/OSD/NWO/AIK/ANA)
SUMBER: KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar