Kamis, 05 November 2009

Butet Jadikan Buaya Hiburan Jenak




BENTARA PENTAS MUSIK
Djaduk dan Butet Jadikan Buaya Hiburan Jenaka...

Jumat, 6 November 2009 | 04:58 WIB

"Licik kaya’ kadal, pinter kaya’ kancil/Sok pedulikan moral dan rakyat kecil/Tapi nyatanya harta negara ludes diambil/diambil... diambil..//Maling, dasar maling dasar maling kerjanya nyolong melulu/Rakyat dijadikan korban selalu/Pusing, rakyat hidup pontang-panting/Mereka tak mau tahu/yang penting koruptornya sukses selalu....”

Nyanyian ”Gong (Maling Budiman)” oleh Djaduk, yang syairnya sebagian seperti di atas, bagai klimaks pertunjukan Orkes Sinten Remen bertajuk ”Buaya Keroncong Gendong Cicak”, Kamis (5/11) malam di halaman Bentara Budaya Jakarta (BBJ).

Pertunjukan yang penuh canda-ria, tawa-gembira, dan interaktif itu disesaki ratusan pengunjung karena selain menghibur, jenaka, juga sarat kritik, bahkan sangat pedas, satir.

Lebih dari itu, Djaduk Ferianto menampilkannya dengan warna yang beragam. Satu lagu bisa saja dibawakan dalam irama keroncong, lalu rock, dangdut, dan kemudian blues. Kelompok seni asal Yogyakarta ini membawakan segala macam irama dan kecenderungan musik sejak jazz, rock, blues, sampai reggae atau dangdut, yang ternyata bisa menyegarkan musik keroncong.

Di panggung, musik mereka terdengar sangat dinamis dan kadang menjadi teatrikal lewat ulah 14 awaknya, dengan menyodorkan tema yang tengah hangat.

Saking terpesonanya penonton, 10 lagu dirasakan kurang. Djaduk akhirnya mendaulat Trie Utami naik pentas. ”Laksamana Raja di Laut” akhirnya mengalun dengan olahan musik yang menarik dan penuh kejutan.

Dilanjutkan dengan lagu ”Nurlela” karya Bing Slamet, akhirnya Orkes Sinten Remen menutup dengan lagu ”Yang Penting Happy” karya Djaduk.

”...Orang di atas tak peduli kita/Mau teriak sah-sah aja/lupakan saja mari bergembira, ho...//Kalau digoyang, jangan nyenggol bokong/Biar miskin asal tetap sombong//”

Fenomena buaya

Tak hanya di tangan Djaduk buaya dan cicak jadi hiburan, di tangan Butet Kartaredjasa lebih jenaka lagi.

”Mungkin inilah yang disebut hamenangi zaman buaya... semua aparat berlomba-lomba ngedan jadi buaya... sing ora dadi buaya ora keduman...,” katanya dalam monoloq bertajuk ”Jaka Tingkir Nitis”.

Menurut Butet, fenomena buaya juga merupakan cermin dari situasi kejiwaan bangsa kita. Menurut laporan yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), saat ini 4 di antara 10 orang Indonesia mengalami gangguan jiwa neurotik atau punya bakat gila. Itu artinya, dalam setahun belakangan ini terjadi peningkatan 40 persen orang Indonesia yang mengalami gangguan jiwa.

”Apa ndak hebat! Di Republik ini ternyata ndak cuman koruptor atau orang miskin yang meningkat jumlahnya, tetapi juga para pengidap gangguan jiwa,” ujar Butet dalam monolognya.

Butet lebih banyak menyoal para koruptor yang makin pintar mempermainkan hukum.

”Hukum justru menjadi cara yang paling efektif bagi para koruptor untuk meloloskan diri. Makanya, kalau koruptor ditanyai di mana persembunyian paling aman bagi seorang koruptor, justru ada di pengadilan!”

Bahkan, para koruptor juga makin pintar memainkan prinsip-prinsip demokrasi. (NAL)Sumber: Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar