Oleh : Yuliusman
Aktifis Walhi Sumsel kelahiran Kikim Kabupaten Lahat
"Pemberian beras miskin dan bantuan langsung tunai (BLT) kepada rakyat bukan solusi mengatasi kemiskinan. Begitu pula dengan program sekolah dan berobat gratis kepada rakyat miskin bukan solusi untuk mengatasi petani miskin di pedesaan dari keterpurukan".
Adalah "bantuan langsung tanah" menjadi solusi mengatasi kemiskinan masyarakat petani. Karena petani membutuhkan kedaulatan dalam pemanfaatan sumber daya alam seperti tanah, hutan dan air. Hal ini merupakan prasyarat utama bagi masyarakat petani di Indonesia.
Jumlah penduduk yang terbesar di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan merupakan rumah tangga petani yang hidup di desa. Maka, sangat wajar kalau nasib petani menjadi sorotan kita semua.
Bukanlah hal yang keliru kalau bertanya sejauhmana keberhasilan masyarakat petani dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka ? Banyak persoalan petani yang harus segera dijawab. Mau dikemanakan nasib petani ketika mereka tidak mempunyai lahan garapan ?.
Fenomena ini mesti mejadi perhatian kita semua dan harus dilihat secara arif dan bijaksana oleh perintah daerah Sumatera Selatan. Adalah jargon politik saja jika pembagunan menuju kesejahteraan rakyat tanpa melakukan penataan struktur dan sistem politik, ekonomi dan sosial yang berbasiskan kekuatan sumber daya desa (reforma agraria).
Karena sejarah telah membuktikan bahwa negara yang melakukan reformasa agraraia, termasuk negara dunia pertama (negara maju) sebelum mencapai negara industri terlebih dahulu melakukan hal ini. Misalnya, Amerika, Inggris, Jepang dan Taiwan.
Pada awalnya negara-negara tersebut merupakan negara agraris. Dimana kekuatan sumber daya desa adalah fundamen kekuatan ekonomi negara. Artinya, strategi pembangunan nasionalnya harus mengembangkan dan mengelola kekuatan sumber daya desa. Sehingga rakyat yang banyak hidup di desa (baca : petani) sebagai subjek domestik pembangunan nasional diberdayakan terlebih dahulu.
Pemberdayaan yang dilakukan adalah negara dalam hal ini pemerintah memberi proteksi terhadap petani dalam hal menguasai dan mengelola sumber produksi pedesaan yaitu tanah dan larangan menguasai tanah yang luas (baca : tuan tanah). Selain itu, melakukan kebijakan yang melindunggi hak petani terhadap rantai produksi, seperti distribusi, pemasaran, harga dan sarana produksi pertanian.
Petani yang menguasai sumber daya produksi dapat melakukan investasi di sektor agraria terlindungi dari kekuatan ekonomi pasar yang sarat dengan persaingan bebas dan monopoli. Politik negara saat itu bertujuan agar masyarakat lokal dikuatkan dahulu struktur ekonominya lewat reforma agraria. Dimana petani (masyarakat lokal) akhirnya mempunyai daya saing yang tinggi terhadap kekuatan ekonomi pasar.
Tidak heran mengapa negara tersebut masyarakatnya lebih sejahtera dibandingkan dengan negara kita. Ketika reforma agraria secara maskimal dilakukan, masyarakat lokal telah mempunyai kekuatan ekonomi. Maka negara tersebut dapat memasuki fase negara industri (negara maju).
Belajar dari sejarah negara maju tersebut reforma agraria merupakan fase awal menuju negara industri. Sehingga industri yang dibangun dapat menopang kemajuan pertanian modern. Dan, Komoditas pertanian merupakan kebutuhan mutlak manusia dan merupakan sumber pendapatan terbesar bagi negara yang mengandalkan pendapatannya di sektor pertaniaan
Reforma agraria pernah dilaksanakan di zaman pemerintahan Soekarno (Orde Lama). Ketika itu kebijakan politik terhadap penataan agraria telah dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA). Pemerintahan Soekarno menetapkan untuk mendistribusikan tanah-tanah bekas perkebunan kolonial dan tanah yang dikuasai oleh tuan tanah kepada petani tak bertanah dan berlahan sempit.
Inilah yang disebut kebijakan land reform yang diamanatkan dalam UUPA. Tapi kebijakan ini tidak berjalan mulus karena kekuasaan Presiden Soekarno tumbang dan isu land reform dikaitkan dengan program PKI. Kemudian kekuasaan dilanjutkan oleh Presiden Soeharto (Orde Baru) yang sama sekali tidak melanjutkan kebijakan land reform.
Pemerintahan Soeharto sangat anti dan menentang agenda reforma agraria. Paradigma pembangunan yang dijalankan adalah pertumbuhan ekonomi. Dimana modal dan pasar adalah pelaku yang signifikan untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi tinggi.
Era reformasi kepemimpinan BJ Habibi pun tidak melaksanakan agenda reforma agraria. Pemerintahan Gus Dur mengeluarkan kebijakan reforma agraria melalui Tap MPR IX/2001 PA dan PSDA. Sedangkan pemerintahan Megawati juga tidak menjalankan agenda refoma agraia. Pemerintahan SBY sedikit memberikan harapan untuk menjalankan agenda reforma agraria lewat PPAN (Mei 2004, April 2006, Januari 2007).
Urgensi Reforma Agraria
Kontradiksi dengan Indonesia yang notabene negara agraris justru belum melakukan reforma agraria secara maksimal. Hal ini didasarkan tidak adanya kemauan politik negara melakukan penataan struktur dan sistem agraria seperti halnya negara yang dicontohkan di atas.
Amanat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) secara tegas memandatkan dilakukannya reforma agraria. Bicara tentang pemanfaatan dan pengelolaan SDA tidak lepas dari bagaimana sumber produksi dapat memberikan peningkatan ekonomi masyarakat lokal (petani).
Peningkatan dimaksud adanya unsur keberpihakan dan kesebandingan distribusi terhadap petani. Sehinga petani sebagai orang yang hidup di desa menjadi sejahterah.
Pemerintah selama ini mengabaikan petani. Karena tidak diangap layak untuk menyumbang pendapatan negara kecuali investor. Kondisi inilah yang melecehkan petani. Dengan demikian mereka terpuruk.
Disisi lain komoditi pertanian rakyat tidak mampu bersaing dengan kekuatan pasar. Fakta menunjukkan bahwa kondsi petani sangat rentan terhadap dominasi pihak luar. Terintegrasinya sumber-sumber agraris petani oleh pihak yang semata-mata ingin mengeruk kepentingan ekonomi (modal dan pasar) dengan cara mengeksploitasi aset agraris. Ini jelas-jelas menganggu kehidupan ekonomi petani serta merusak tatanan sosial desa.
Asset agraris tadi dikuasi dan lebih dinikmati kekuatan modal dan pasar. Implikasi dari ini justru menjadi persoalan struktural ketika terpingirkannya budaya kearifan lokal.
Akibat derasnya investasi yang masuk ke desa yang telah merubah budaya pertanian rakyat menjadi pertanian modern seperti perkebunan kelapa sawit. Budaya pertanian modern ini sangat menguntungkan pihak pemilik modal besar karena produksi, distribusi dan harga dikuasainya.
Petani hanya sebagai pekerja, pengumpul dan penyetor produksi kepada perusahaan perkebunan dan pabrik pengolahan. Kondisi di atas telah menyebabkan kemiskinan yang meluas dan harapan untuk peningkatan kualitas ekonomi, sosial dan budaya dalam kehidupan petani sangat jauh dari harapan.
Tanah adalah Urat Nadi Petani
Semua orang menyadari bahwa tanah merupakan aset penting dalam kehidupan manusia. Terlebih bagi kaum tani, tanah adalah sumber terpokok kehidupan. Tanah tempat petani hidup, tanah tempat petani menafkahi anak-istri, tanah tempat petani memiliki kemampuan untuk mampu menyekolahkan anak-anaknya, tanah tempat petani memiliki harkat dan martabatnya, dan secara mendasar tanah bagi petani adalah bagian yang tidak tepisahkan dalam hidup dan urat nadinya.
Sejarah telah mencatat, penindasan terhadap kaum tani khususnya berupa penguasaan atau penggusuran lahan secara sefihak yang dilakukan oleh kekuatan modal hingga detik ini terus berlangsung. Penggusuran tersebut terus berjalan hingga membuat petani hidup dalam gelimang kesengsaraan dan penderitaan.
Konteks Sumatera Selatan baru-baru ini (19-23 Oktober 2009) petani dua desa melakukan unjuk rasa kepada pemerinta Propinsi dalam rangka memperjuangkan tanahnya yang telah dirampas oleh Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit. Persoalan yang dikemukakan, yaitu penyerobotan lahan petani Desa Sinar Harapan (Kabupeten MUBA) yang dilakukan oleh PT. Berkat Sawit Sejati (BSS) seluas 73 ha dan penyerobotan lahan petani Desa Sido Mulyo (Kabupaten Banyuasin) oleh PT Perkebunan Nusantara VII seluas 387 ha.
Pemerintah Propinsi telah memfasilitasi dan mempertemukan para pihak (secara seremonial) untuk penyelesaian sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan. Namun kemenangan belum juga mengarah kepada petani. Pemerintah tidak menempatkan keberpihakannya kepada petani. Padahal posisi kasus jelas-jelas bahwa lahan yang diperjuangkan oleh petani dua desa memiliki alas hak yang tertinggi dan sah berupa Sertifikat Hak Milik yang dimilki petani.
Sehingga tidak salah jika saya bertanya kembali, sampai kapan kepastian hak atas tanah bagi petani dapat terwujud? Kemudian apa bedanya rezim pemerintah hari ini (pusat dan daerah) dengan rezim Orde Baru? Jangan biarkan pertanyaan ini larut dalam kekuasaan yang anti rakyat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar