Selasa, 13 Oktober 2009

Kearifan Petani

HARI PANGAN SEDUNIA
Belajar dari Kearifan Petani Kecil

Rabu, 14 Oktober 2009 | 04:00 WIB

Oleh Hermas E Prabowo

Bangunan lumbung pangan warga di Pedukuhan Mojo, Desa Wates, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, begitu sederhana. Berdinding anyaman bambu, beratap genteng, dan berlantai tanah. Dari lumbung pangan itulah warga menggantungkan harapan.

Warga tidak perlu cemas kekurangan pangan bila suatu ketika mereka tertimpa musibah.

”Lumbung pangan akan memberikan pinjaman pangan tanpa ada kewajiban untuk mengembalikan. Ini sifatnya bantuan dan besarannya tergantung tingkat kerusakan dan kesepakatan warga,” kata Bambang (33), tokoh pemuda tani yang juga pengurus Lumbung Pangan Sari Mulyo di Pedukuhan Mojo, Minggu (11/10).

Begitu pula bila musim kemarau datang lebih lama, warga tak perlu panik kekurangan makanan. Lumbung pangan mereka siap kapan saja membantu warga yang dilanda paceklik.

Tidak hanya itu. Warga yang kekurangan benih untuk musim tanam berikutnya, misalnya karena benih cadangan ikut terjual untuk kebutuhan anak sekolah, juga tidak usah gelisah. Mereka bisa meminjam benih dari lumbung pangan itu.

”Di sini kami tidak hanya menyimpan gabah kering giling, umbi-umbian, atau kacangkacangan, tetapi juga keperluan petani lainnya seperti benih,” ungkap Pohimin (43), petani yang memiliki lahan seluas 1.300 meter persegi.

Harmonisasi hidup petani

Desa Wates merupakan contoh nyata harmonisasi hidup petani kecil. Warga desa umumnya petani lahan kering dengan lahan garapan rata-rata 1.500-3.000 meter persegi. Lahan itu umumnya ditanami padi beras merah, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Komoditas tersebut lebih tahan hama penyakit dan panennya bisa dipastikan.

Luas wilayah Desa Wates hanya 388,58 hektar. Di sini sawah beririgasi sederhana 86,68 hektar, sawah tadah hujan 73,6 hektar, pekarangan 120,7 hektar, dan tegalan 107,6 hektar.

Hingga Agustus 2009 tercatat jumlah penduduk Desa Wates sebanyak 4.114 jiwa yang terbagi dalam 1.055 keluarga. Ada 332 keluarga miskin. Benar-benar miskin. Rumah warga miskin umumnya dari anyaman bambu, lantai tanah, dan atap genteng terkadang rumbia.

Sandang juga amat minim karena jarang sekali mereka bisa membeli. Pangan juga seadanya, apa yang ada di kebun. Namun, meski tidak tergolong miskin, bukan berarti warga lain kaya.

Mbah Rebih, sesepuh Lumbung Pangan Sari Mulyo, menceritakan, melihat ancaman kerawanan pangan, sejak zaman penjajahan Jepang sekitar 1943, pemerintah desa mewajibkan setiap pedukuhan atau rukun tetangga (RT) memiliki lumbung paceklik. Kala itu setiap warga diwajibkan menyetor lima ikat (untingan) padi.

Gabah yang dikumpulkan disimpan di lumbung dan biasanya berada di rumah ketua RT. Selanjutnya gabah tersebut dikembalikan lagi saat musim paceklik tiba, sekitar September-Januari tahun berikutnya.

Tahun 1970, peran lumbung pangan mengalami transformasi. Pemerintah melarang petani menanam padi berumur panjang, lalu diganti padi umur pendek, seperti padi varietas PB 5 atau PB 8, varietas cempo, dan kruwing.

Pola penyetoran gabah berubah, yang semula ikat menjadi butiran. Setiap warga diwajibkan menyetor gabah 5-10 kilogram sekali panen. Bila terjadi paceklik, warga bisa meminjam. Kelebihan dari stok pangan itu bisa saja dijual untuk kebutuhan warga.

Era 1980-an sampai 1998, lumbung pangan banyak ditinggalkan warga. Lumbung tidak terurus, asetnya menguap. Petani pun masuk dalam kehidupan individualis.

Indro (35), anggota Lumbung Pangan Sari Mulyo yang juga pendamping Lembaga Studi Kemasyarakatan Bina Bakat, mengatakan, melesunya peran lumbung pangan salah satunya juga karena warga merasa memiliki pangan cukup karena panen padi bisa dua kali setahun.

Tahun berganti dan iklim terus berubah. Kebutuhan juga meningkat. Ketenangan hidup petani yang berswasembada mendadak terguncang.

Anomali iklim El Nino, yang membuat kemarau berlangsung lebih lama yang terjadi pada musim tanam 1997/1998, menyentakkan kedamaian warga Desa Wates.

Harga pangan membubung. Pasokan berkurang sebagai dampak kemarau yang lebih lama. Semua stok pangan petani di rumah-rumah habis terjual untuk biaya hidup maupun biaya pendidikan anak.

Kelaparan mengintai. Dari situlah warga sadar perlunya kembali membangun lumbung pangan bersama.

Tahun 2000, sebanyak 90 kepala keluarga warga Pedukuhan Mojo sepakat membangun lumbung. Mereka membagi dua komunitas. Lumbung pertama berada di RT 01 yang beranggotakan 64 keluarga yang menamakan diri Lumbung Pangan Sari Mulyo. Kedua di RT 02 yang beranggotakan 26 keluarga.

Kini lumbung pangan itu tidak semata berperan sebagai cadangan pangan warga, tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Lumbung pangan juga membeli gabah petani dengan harga Rp 100 per kilogram lebih tinggi dari harga pasar.

Keberadaan lumbung pangan sangat terasa manfaatnya. Menurut buku catatan harian Lumbung Pangan Sari Mulyo, setidaknya ada 42 keluarga dari 64 keluarga yang meminjam pangan saat paceklik.

Warga biasa meminjam sebanyak 30-50 kilogram gabah kering giling untuk menopang kehidupan sampai menunggu panen tiba. Dengan meminjam 50 kilogram, misalnya, warga cukup mengembalikan pinjaman pokok ditambah jasa 1 kilogram gabah kering giling untuk setiap pinjaman 10 kilogram. Jasa pinjaman itu tidak untuk keuntungan pengurus lumbung, tetapi untuk tambahan modal agar stok pangan bertambah banyak.

Di tengah dunia cemas menghadapi isu kelangkaan pangan, Lumbung Pangan Sari Mulyo bisa menjadi satu model kearifan hidup petani kecil. Sumber: Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar