
Petani adalah “Soko Gurunya Bangsa Indonesia”, demikian Soekarno berkata. Soko guru yang berarti sebagai tiangnya kehidupan bangsa, dapat dimaknai bahwa jalannya arah revolusi kemerdekaan republik ini, ditentukan oleh makmurnya kehidupan kaum tani kita. Petani sebagai golongan mayoritas/kebanyakan dari rakyat Indonesia (65% rakyat Indonesia hidup di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian), dan keberadaannya yang sangat berarti bagi kehidupan golongan social lainnya – mempunyai posisi dan peran yang sangat strategis dalam menentukan arah pembangunan nasional.
Namun dari keberadaannya yang mulia tersebut, petani Indonesia sejak dahulu (era feodal dan kolonial) hingga sekarang (era reformasi), selalu hidup dalam keterbelakangan dan ketertindasan. Kondisi ini diakibatkan oleh ‘kesesatan’ cara berpikir pemerintah kita yang melihat bahwa sumber-sumber agraria (tanah, hutan, laut, sungai, dll) hanya dari sisi pemanfaatan investasi/modal besar semata. Akibatnya hanya para pemodal besar saja yang kemudian memperoleh kesempatan untuk dapat mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber agraria tersebut. Dampak dari itu semua, maka tidak mengherankan jika kepemilikan sumber agraria seperti lahan misalnya, akhirnya hanya terkonsentrasi pada gelintir orang.
Salah satu contoh nyata dari system tersebut dapat kita lihat pada saudara-saudara kaum tani kita yang berada di Desa Rengas Kecamatan Payaraman Kabupaten Ogan Ilir. Lahan kehidupan warga seluas 1529 ha telah dirampas oleh PT PN VII. Fakta ini secara nyata bahwa keberpihakan pemerintah sangat nampak sekali terhadap perusahaan. Padahal Tahun 1996, Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa lahan itu sah milik warga. Namun, pihak PTPN VII tetap tidak mau mengakui putusan MA itu. inilah wajah hukum dan keadilan di negeri ini.
Yang lebih melukai batin dan perasaan adalah perbuatan Brutalisme Brimob Polda Sumsel dan satgas perusahaan terhadap petani Desa Rengas. Pada tanggal 4 Desember 2009 sekitar pukul 13.00 WB lebih dari 60 personel Brimob Polda Sumsel menghujani petani Rengas dengan peluru. Sehingga menyebabkan 12 petani terkena luka tembak dan 8 orang lainnya luka-luka. Aksi yang dipertontonkan oleh aparat ini adalah perbuatan yang sangat keji dan kejam. Polisi yang seharusnya bertugas untuk “Melindungi dan Melayani” masyarakat, telah berlaku sebaliknya. Hak asasi masyarakat Desa Rengas untuk bebas dari ketakutan, dari ancaman, dari kekerasan telah dilanggar oleh negara. Artinya telah terjadi pemerkosaan terhadap hak-hak mereka sebagaimana tertuang di dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Pihak kepolisian seharusnya tidak menjadi bagian dari konflik yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat, dengan cara melindungi perusahaan, menghadang masyarakat dan melakukan serentatan tindakan pelanggaran HAM. Sungguh terkutuk perilaku keji dan kejam yang dilakukan oleh PT PN VII dan aparatur negeri ini.
Ditulis Oleh : Yuliusman (Manager Advokasi WALHI Sumsel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar